Jakarta – Humas BRIN. Asia merupakan negara yang sangat kaya dengan berbagai corak bahasa dan budaya, terlebih manuskrip. Hal ini dibahas melalui sesi khusus dengan mengangkat tema “Peluang Penelitian Bahasa, Sastra, Manuskrip, dan Warisan Keagamaan di Asia” pada rangkaian gelaran The 1st Biannual Conference on Language and Literature (BCLL) yang diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra di Gedung BJ Habibie Jakarta, Kamis (02/11).
BRIN turut mengundang praktisi dan periset luar negeri untuk memperkaya khazanah pada BCLL. Kali ini yang berkesempatan pertama berbagi pengalaman adalah Ophira Gamliel dari University of Glasgow UK. Ophira mengangkat judul Kotak Emas Kepercayaan Kepada Tuhan: Metafora Keagamaan dalam Menanggapi Krisis Lingkungan. Banjir di Kerala, India, contohnya, sudah termaktub dalam budaya dan sejarah keagamaan mereka. Hal tersebut membuat mereka belajar mengenai mitigasi/ketahanan bencana serta adaptasi terhadap perubahan iklim.
Elena Burgos Martinez dari Universitas Leiden, Belanda menyuguhkan pengalamannya semasa meriset manuskrip di Sulawesi Utara. Dalam paparannya yang berjudul Masa Depan Studi Bahasa di Indonesia: Interspecies Politics dan Tidalektika Krisis Ekologis di Asia Maritim, Elena menyampaikan pernah meneliti di Taman Nasional Bunaken, Minahasa Utara. Keunikan yang dia dapatkan yakni hubungan manusia dengan laut dibangun oleh ilmu pengetahuan, ahli pembangunan, pertumbuhan dan sumber daya, serta konservasionis.
“Nilai komersial kapitalisme mengatur segalanya, manusia, dan lingkungan ilmu pengetahuan cenderung memperlakukan masyarakat lokal sebagai obyek penelitian,” sesalnya.
Pengetahuan adalah subyek, bukan obyek dari dan dalam penelitian. Elena lalu menunjukkan beberapa dokumentasi mengenai budaya di daerah, bagaimana masyarakat bertahan hidup dengan mata pencahariannya, seperti melaut dan beternak rumput laut. ”Kamu tidak bisa hanya belajar lingkungan, kamu tidak hanya bisa belajar bahasa,” serunya.
Elena meyakinkan bahwa riset harus selaras dengan ekopolitikal dan sejarah, budaya, multibahasa pengalaman dan agenda tempat itu. Paradigma bahasa di pulau bahkan ada 3 bahasa, yakni Bahasa Indonesia; Manado Malay (pasar) seperti digunakan saat berbisnis tuna, rumput laut dan komoditi perdagangan lainnya; Baon Sama (Baon Nusa Bagu) politik antar spesies, kekuatan tempat, dan identitas.
Elena menggambarkan bahwa bagi masyarakat setempat, agar mau tahu tentang ilmu maritim, harus bisa bicara dengan ikannya. “Ikan memutuskan apakah anda dapat mengambil hasil Sumber Daya Alam (SDA) laut atau tidak,” ujarnya disambut tawa peserta.
Oman Fathurrahman, seorang dosen dan profesor dalam bidang manuskrip dari UIN Syarif Hidayatullah Indonesia turut diundang menjadi pembicara dalam BCLL. Oman mengangkat tema mengenai peluang riset manuskrip nusantara di Indonesia. Hal tersebut diceritakan Oman berdasar hasil studi lapangan serta pengalamannya selama puluhan tahun di bidang manuskrip.
“Manuskrip di Indonesia memiliki kekuatan dan kelebihan seperti keragaman agama & budaya, memiliki pembaca aksara kuno beragam bahasa, manuskrip menjadi 10 obyek budaya bahkan mendapat dukungan regulasi, akses ke koleksi manuskrip semakin terbuka, adanya program studi yang memfasilitasi filologi, dan adanya komunitas dan asosiasi pernaskahan,” ujarnya.
Tak hanya kelebihan, Oman juga membeberkan kelemahan budaya riset manuskrip Indonesia yakni belum ada peta manuskrip nusantara agar menjadi pijakan awal peneliti, jumlah guru besar filologi terbatas, kesadaran manuskrip sumber inspirasi kebudayaan masih terbatas, database integrasi manuskrip belum ada, belum ada jurusan filologi di universitas, serta terbatasnya formasi tenaga ahli/pendidik di bidang ini. Manuskrip di Indonesia berpeluang menjadi center of excellence (pusat unggulan) kajian manuskrip nusantara.
“Manuskrip Indonesia juga bisa memberi inspirasi integrasi ilmu humaniora dan ilmu lain. Ia juga dapat menjadi perintis membangun data manuskrip nusantara berbasis big data digital bukanlah hal yang mustahil dilakukan. Manuskrip menyelaraskan relasi agama dan budaya, memberi inspirasi pembangunan nasional berbasis kebudayaan, serta menjadi ingatan bersama dan kearifan lokal,” jelasnya.
Oman menambahkan bahwa hal tersebut di atas tidak lepas dari ancaman, manuskrip bisa semakin rentan semakin rapuh, rusak, bahkan musnah. Generasi milenial dan generasi z Indonesia dapat kehilangan jati dirinya sebagai bangsa religius yang multikultural apabila tidak ada yang menguasai manuskrip bangsanya. Kemudian kiamat manuskrip ini bisa juga ditandai dengan lahirnya budaya berpengetahuan instan. “Hal tersebut diperparah dengan kebijakan tidak berorientasi pada pemajuan kebudayaan dan kemanusiaan, filolog dan pengkaji manuskrip semakin berkurang, hingga lahir konflik akibat ketegangan relasi agama dan budaya,” tutupnya. (sgd/ed:jml)